BERSAMANYA, PENUH KENANGAN
"Erika jangan nangis"
Pagi ini terasa menyebalkan. Harus menjalani hari seperti biasa kembali setelah diberi jatah libur selama sehari. Benar-benar hari kejepit yang tak terlupakan.
Pelajaran pertama, Bahasa Indonesia. Lagi-lagi harus bertemu guru yang mengajar di kelasku empat kali seminggu. Tapi ternyata ia tak masuk. Yang masuk malah guru piket pemberi tugas. Ya, masih lumayan daripada pelajaran.
Namun sekitar setengah jam sebelum mata pelajaran itu selesai, seorang guru sejarah masuk ke kelasku. Ia bertanya "Ada tugas?", ya kami jawab apa adanya. Iya.
Lalu ia memerintahkan kami untuk menyelesaikannya tepat jam delapan, karena ia bilang, akan ada waktu dengannya. Aku adalah murid pertama yang berkata dengan kerasnya "Yah, saya ga bawa buku sejarah, bu." Begitu juga teman yang lain mengikuti. Ia bilang, tak apa. Lengkap dengan senyum manisnya dengan bibir merah menempel disana.
Ia adalah Yovita Septika Sari,S.Pd. Kerap disapa Ibu Vita yang terkenal dengan tubuh imutnya. Pertama kali diajar olehnya, rasanya sih lumayan seru. Karena ia sering bercerita tentang perang dunia, dan fakta-fakta sejarah lainnya yang belum pernah ku ketahui.
Pukul delapan kurang, seorang guru masuk ke kelasku, membawa kamera bewarna merah. Ku pikir akan diadakan sebuah pemotretan kondisi kelas untuk majalah sekolah. Bu Vita pun langsung mengangkat potongan-potongan kertas berukuran sekitar lima kali tujuh centi sambil berkata "Tugasnya sudah selesai? ibu bagikan ini, ya?"
Dalam benakku, ah! Ini pasti penerapan kurikulum 2013, belajar sambil bermain! Pantas saja ada yang memotret. Mungkin untuk bukti.
Secarik kertas itu pun mendarat di mejaku, di hadapanku.
"Sekarang kalian tolong tulis kesan-pesan selama ibu mengajar disini."
Lagi-lagi 'mungkin' aku juga yang pertama merasa 'ada apa dengannya?'
Aku langsung mengacungkan jari dan bertanya "Lho, bu? Ibu mau kemana?"
Entah kenapa aku teringat dengan guru BK ku yang pindah ke Solo pada bulan Desember tahun lalu. Sebelum pindah, ia juga sempat mengadakan sesi seperti ini.
"Ngga, kok. Ibu ga kemana-mana," janjinya.
Aku berpikir, ada kamera. Dulu juga! Setelah menulis kesan bersama guru BK itu, kami sempat berfoto bersama.
"Hel--nama teman sebangku ku--! Kon inget ta pas Bu Agnes kate pindah lak ngene pisan?"
"Oh iyo!", jawabnya.
Ternyata pertanyaanku pada Helda hampir terdengar ke seluruh kelas. Salah satu anak bernama Nora pun ikut bertanya "Bu Yovita mau kemana? Kok begini, bu?"
Ia masih membalasnya dengan senyuman.
Tapi entah kenapa hatiku merasa senyumannya itu palsu. Ia pasti sama dengan yang bulan Desember.
Tak sanggup menulis apa-apa, yang keluar dari mulutku hanya pertanyaan pelan "Lho Bu Yovita mau kemana?" Berulang kali kuucapkan kata-kata itu sampai terdengar oleh anak lain. Kertasku masih kosong. Putih bersih tanpa tulisan.
Sampai kemudian Keny berkata, "Lho? Erika nangis?"
Dilanjut Helda, dilanjut Nora.
"Baru pertama kali, lho liat Erika nangis"
Nadhia pun menengokkan kepalanya ke belakang, "Lho kon opo'o, Er?"
Aku hanya menjawab dengan kata-kata yang sebelumnya terus kuucapkan.
"Ayo kertasnya dikumpulkan. Sudah selesai, belum?"
"BU! ERIKA NANGIS!" Suara Helda yang keras membuat Bu Yovita menengok ke arahku dan berkata, "Lho Erika jangan nangis.. Ayo ditulis kertasnya."
Kata-kata seperti itu malah membuat air mataku turun lebih deras.
Akhirnya kupaksa tangan kanan ini bergerak, kumohon tulislah apapun agar ia senang.
Dan ternyata yang kutulis hanya "BU YOVITA BAIK KOK", dengan huruf kapital besar yang memenuhi kertas tersebut. Kuberikan pada temanku dan menyuruhnya untuk mengumpulkan. Aku tak sanggup berdiri.
Setelah kertas itu terkumpul semua di tangannya, ia barulah menjelaskan.
"Ibu akan tetep disini bareng kalian sampe rapotan, tapi semester depan ibu udah ga disini."
Tangisanku tambah deras. Kulihat Keny yang duduk di bangku serong kananku duduk terjatuh dari kursinya dan tergeletak di lantai, mulai menangis.
"Lho Keny.. Keny jangan nangis..," katanya sambil mengusap pundak Keny. Ia pun juga datang ke arahku sambil memelukku dari belakang dengan erat, "Udah, ah. Erika jangan nangis."
"Yuk yuk kita foto, yuk!", ajaknya.
Ia dan guru yang membawa kamera itu memimpin kami sekelas ke lapangan voli untuk berfoto bersama. Aku dan Keny berjalan berdua, sambil tetap menangis dan saling berkata bahwa kita shock. Bener, kita shock.
Jepret! Jepret! Jepret!
Kemungkinan semua hasil foto itu dilengkapi tanpa senyum lebarku. Mungkin ada, tapi tak ikhlas.
"Ga bisa senyum aku," ujarku. "Aku pisan," lanjut Keny.
Setelah itu, kami kembali ke kelas dengan Bu Yovita tetap bersama kami.
"Jadi ibu akan pindah. Kalau kalian ke Jakarta bisa mampir-mampir. Ibu pindah ke sana juga soalnya deket kalo pulang ke kampung ibu di Lampung," jelasnya.
"Bu? Ibu ga pindah gara-gara saya, kan?", kata Nora. Murid kelasku yang paliiing sering kena marah olehnya. Ia pun menggeleng.
Dan tetap tak henti berkata, "Erika jangan nangis."
Pagi ini terasa menyebalkan. Harus menjalani hari seperti biasa kembali setelah diberi jatah libur selama sehari. Benar-benar hari kejepit yang tak terlupakan.
Pelajaran pertama, Bahasa Indonesia. Lagi-lagi harus bertemu guru yang mengajar di kelasku empat kali seminggu. Tapi ternyata ia tak masuk. Yang masuk malah guru piket pemberi tugas. Ya, masih lumayan daripada pelajaran.
Namun sekitar setengah jam sebelum mata pelajaran itu selesai, seorang guru sejarah masuk ke kelasku. Ia bertanya "Ada tugas?", ya kami jawab apa adanya. Iya.
Lalu ia memerintahkan kami untuk menyelesaikannya tepat jam delapan, karena ia bilang, akan ada waktu dengannya. Aku adalah murid pertama yang berkata dengan kerasnya "Yah, saya ga bawa buku sejarah, bu." Begitu juga teman yang lain mengikuti. Ia bilang, tak apa. Lengkap dengan senyum manisnya dengan bibir merah menempel disana.
Ia adalah Yovita Septika Sari,S.Pd. Kerap disapa Ibu Vita yang terkenal dengan tubuh imutnya. Pertama kali diajar olehnya, rasanya sih lumayan seru. Karena ia sering bercerita tentang perang dunia, dan fakta-fakta sejarah lainnya yang belum pernah ku ketahui.
Pukul delapan kurang, seorang guru masuk ke kelasku, membawa kamera bewarna merah. Ku pikir akan diadakan sebuah pemotretan kondisi kelas untuk majalah sekolah. Bu Vita pun langsung mengangkat potongan-potongan kertas berukuran sekitar lima kali tujuh centi sambil berkata "Tugasnya sudah selesai? ibu bagikan ini, ya?"
Dalam benakku, ah! Ini pasti penerapan kurikulum 2013, belajar sambil bermain! Pantas saja ada yang memotret. Mungkin untuk bukti.
Secarik kertas itu pun mendarat di mejaku, di hadapanku.
"Sekarang kalian tolong tulis kesan-pesan selama ibu mengajar disini."
Lagi-lagi 'mungkin' aku juga yang pertama merasa 'ada apa dengannya?'
Aku langsung mengacungkan jari dan bertanya "Lho, bu? Ibu mau kemana?"
Entah kenapa aku teringat dengan guru BK ku yang pindah ke Solo pada bulan Desember tahun lalu. Sebelum pindah, ia juga sempat mengadakan sesi seperti ini.
"Ngga, kok. Ibu ga kemana-mana," janjinya.
Aku berpikir, ada kamera. Dulu juga! Setelah menulis kesan bersama guru BK itu, kami sempat berfoto bersama.
"Hel--nama teman sebangku ku--! Kon inget ta pas Bu Agnes kate pindah lak ngene pisan?"
"Oh iyo!", jawabnya.
Ternyata pertanyaanku pada Helda hampir terdengar ke seluruh kelas. Salah satu anak bernama Nora pun ikut bertanya "Bu Yovita mau kemana? Kok begini, bu?"
Ia masih membalasnya dengan senyuman.
Tapi entah kenapa hatiku merasa senyumannya itu palsu. Ia pasti sama dengan yang bulan Desember.
Tak sanggup menulis apa-apa, yang keluar dari mulutku hanya pertanyaan pelan "Lho Bu Yovita mau kemana?" Berulang kali kuucapkan kata-kata itu sampai terdengar oleh anak lain. Kertasku masih kosong. Putih bersih tanpa tulisan.
Sampai kemudian Keny berkata, "Lho? Erika nangis?"
Dilanjut Helda, dilanjut Nora.
"Baru pertama kali, lho liat Erika nangis"
Nadhia pun menengokkan kepalanya ke belakang, "Lho kon opo'o, Er?"
Aku hanya menjawab dengan kata-kata yang sebelumnya terus kuucapkan.
"Ayo kertasnya dikumpulkan. Sudah selesai, belum?"
"BU! ERIKA NANGIS!" Suara Helda yang keras membuat Bu Yovita menengok ke arahku dan berkata, "Lho Erika jangan nangis.. Ayo ditulis kertasnya."
Kata-kata seperti itu malah membuat air mataku turun lebih deras.
Akhirnya kupaksa tangan kanan ini bergerak, kumohon tulislah apapun agar ia senang.
Dan ternyata yang kutulis hanya "BU YOVITA BAIK KOK", dengan huruf kapital besar yang memenuhi kertas tersebut. Kuberikan pada temanku dan menyuruhnya untuk mengumpulkan. Aku tak sanggup berdiri.
Setelah kertas itu terkumpul semua di tangannya, ia barulah menjelaskan.
"Ibu akan tetep disini bareng kalian sampe rapotan, tapi semester depan ibu udah ga disini."
Tangisanku tambah deras. Kulihat Keny yang duduk di bangku serong kananku duduk terjatuh dari kursinya dan tergeletak di lantai, mulai menangis.
"Lho Keny.. Keny jangan nangis..," katanya sambil mengusap pundak Keny. Ia pun juga datang ke arahku sambil memelukku dari belakang dengan erat, "Udah, ah. Erika jangan nangis."
"Yuk yuk kita foto, yuk!", ajaknya.
Ia dan guru yang membawa kamera itu memimpin kami sekelas ke lapangan voli untuk berfoto bersama. Aku dan Keny berjalan berdua, sambil tetap menangis dan saling berkata bahwa kita shock. Bener, kita shock.
Jepret! Jepret! Jepret!
Kemungkinan semua hasil foto itu dilengkapi tanpa senyum lebarku. Mungkin ada, tapi tak ikhlas.
"Ga bisa senyum aku," ujarku. "Aku pisan," lanjut Keny.
Setelah itu, kami kembali ke kelas dengan Bu Yovita tetap bersama kami.
"Jadi ibu akan pindah. Kalau kalian ke Jakarta bisa mampir-mampir. Ibu pindah ke sana juga soalnya deket kalo pulang ke kampung ibu di Lampung," jelasnya.
"Bu? Ibu ga pindah gara-gara saya, kan?", kata Nora. Murid kelasku yang paliiing sering kena marah olehnya. Ia pun menggeleng.
Dan tetap tak henti berkata, "Erika jangan nangis."
***
Well, aku menangisinya karena aku merasa pelajarannya seru. Sangat seru. Hanya orang-orang yang memiliki tangan-tangan cepat yang dapat mencatat kata-katanya. Ia memiliki konsep mengajar dengan cara bercerita. Dan setiap kata yang keluar dari mulutnya, itulah yang kucatat. Walaupun setelah itu ia akan membagikan catatan yang ia print dan di fotocopy, aku akan tetap belajar dari omongannya, ceritanya, yang kucatat dengan tangan-tangan kilatku.
Itulah mengapa nilaiku selalu tinggi di mata pelajarannya. Sejarah, harusnya memang mengerti cerita. Aku sampai terheran-heran bisa menoreh angka 98 pada materi yang menurutku sulit sekalipun. Itu karena pada ulangannya pun kami diminta untuk bercerita. Tentang ini, tentang itu.
Walaupun pernah kena omel olehnya karena tertawa terlalu keras di perpustakaan bersama teman-teman lainnya, tapi kesan bersamanya tak akan kulupa sepanjang masa. Meskipun Keny yang pernah kena marah sekalipun--marah yang benar-benar marah--, ia tetap menangisi guru itu. Entah mengapa. Mungkin guru itu memiliki sisi baik yang sulit dilupakan.
Tak lupa Helda juga menangis pada saat melihat Bu Vita keluar dari kelas kami. Walaupun sedikit terlambat momennya. Hahaha
Bu Vita, jika saya diperkenankan menulis kembali pada secarik kertas tersebut, saya akan menulis "Cerita yang tak ada titiknya itu akan kuingat sepanjang masa. Tutur bicaramu yang tak kenal henti, detail cerita yang kau ucapkan, serta catatan sejarahku yang selalu penuh dengan tulisan detak jantung. Semoga sukses untuk kedepannya!"
Maaf bila kata yang kutulis di kertas tersebut terlalu pendek. Mungkin akan menjadi yang paling tak berkesan saat kau tempel semua tulisan muridmu itu di suatu tempat. Tapi kuharap kau mengerti bahwa aku sayang kau. Kami semua sayang kau.
Muridmu,
Erika
Comments
Post a Comment